Kamis, 10 Maret 2016

Sepatu

photo: livingartscorp.org
Kita tidak sedang membahas lagu Tulus, penyanyi yang belakangan sedang sering sekali muncul di moment path kawan-kawanku. Liriknya mulanya memang keren: “Kita adalah sepasang sepatu, selalu bersama tak bisa bersatu”. Juga tidak sedang membahas cerpen Etgar Keret, penulis –-yang baru-baru ini saya tahu tulisan-tulisannya-– asal Israel, yang beberapa tulisannya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh beberapa penulis ternama, semisal Eka Kurniawan, M. Aan Mansyur, Bernard Batubara dll. Jujur, pertama kali saya mengetahui Etgar Keret lewat cuitan Bara di akun twitternya. Apalagi, jangan salah sangka, aku tidak sedang jualan sepatu, karena nyata-nyata ini bukan blog online shop.

Setelah mengamati bermacam-macam sepatu yang disusun sedemikian rupa di toko --bentuknya tidak seperti toko atau ruko pada umumnya, lebih tepat disebut kios, tapi bukan kios juga, sih-- paling pojok saat pertama kali masuk ke Pasar RB (singkatan: rombengan, kalau tak salah. Di Jakarta ada yang menyebutnya burger, ituloh barang second impor yang sempat dilarang oleh pak Jokowi). Mataku tertuju pada Sneakers dengan corak mirip batik. Bagiku, memang itu yang paling mencolok dan menarik perhatian. Pantofel cukup menarik, tapi aku tidak terlalu membutuhkannya dalam waktu dekat. Boot lumayan menggoda, tapi punyaku sudah lumayan banyak. Sneaker itu digantung, bersama sepatu-sepatu lainnya, pada paku yang tertancap di kayu balok seukuran 4x8 cm, yang terbentang horisontal dan tersusun vertikal, mungkin juga berfungsi sebagai sekat-sekat antar bilik. Oh, iya, RB juga kadang disebut Cakar di tempatku tinggal, mungkin karena waktu memilih dan memilahnya, kita harus melakukan gerakan seperti mencakar-cakar pada tumpukan baju dan atau celana yang sudah di buka dari bal oleh penjualnya.

Sebagai seorang pembeli, aku harus nampak tidak terlalu antusias pada barang yang akan dibeli. Perlu kau tahu, semakin kau antusias mendapatkan barang tersebut, semakin kecil kemungkinan penjual menjualnya dengan yang sesuai dengan penawaranmu. Dalam hati, barang yang aku incar suda pasti adalah sneakers itu, tapi aku masih melihat-lihat koleksi lain seperti Elang yang memantau mangsanya dari udara, tanpa melepaskan pengawasan pada sepatu yang aku inginkan. Ya, siapa tahu, ada sepatu keren yang luput dari penglihatanku. Setelah aku rasa telah berbaur dengan suasana toko itu, aku memberanikan diri untuk bertanya harga sneakers yang aku incar.

“Yang ini berapa, bro?”. Penjualnya bermata sayu, masih muda, sepertinya beberapa tahun di bawahku, tapi kumisnya lebih lebat daripada kumisku. 

“Tujuh lima”. Jawabnya.

“Tapi ini ada sobeknya, ya”, sembari menunjukkan bagain yang cacat tersebut, meskipun sebenarnya tidak terlalu nampak karena motif batik itu cukup menyamarkan kekurangannya kecuali kita yang dengan sengaja membeleknya. Ini adalah upaya penyerangan pertama untuk membuat barang yang aku incar layak ditawar miring.

Sejujurnya aku belum melihat sizenya tapi kok rasa-rasanya seperti cocok di kakiku. Merknya juga tidak kelihatan jelas, apalagi sizenya, yang jelas sepatu itu impor. Si penjual sepatu hanya senyum-senyum tanpa merespon kata-kataku. Aku meraih kursi dan langsung mencoba Sneakers itu. Sialan, sizenya pas banget, 42 Eropa! Sepatu ini seperti sengaja dikirim khusus untuk aku.

“Empat puluh aja”, kataku dengan biasa-biasa saja tanpa tendensi serius ingin membelinya.

“Enam puluh, pas” tandasnya dengan cepat, sambil senyum-senyum.

Aku masih membolak-balik sepatu, memperhatikan jika ada bagian lain yang cacat. Sembari sesekali menunjuk-nunjukan bagian yang sobek lengkap dengan ekspresi khawatir. Jujur, ada sedikit rasa khawatir jikalau Sneakers itu rusak hanya setelah dipakai beberapa kali. 

Tak ku temui lagi cacatnya yang lain selain sedikit aus di dasar sepatu tepat di bawa tumit. Dalam taksiranku, kondisinya 80-85%. Akhirnya aku –-berpura-pura seolah tak tertarik-– menggantung kembali Sneakers itu dan lalu melihat-lihat lagi koleksi lain. Aku lumayan tertarik pada sepatu yang ada di atas meja di depan toko. Dari penataan dan kondisinya, jelas sekali, itu barang-barang pilihan. Ada Fila, Caterpillar dll. 

“Yang ini berapaan?”

“Oh, itu tiga ratus lima puluh...”

Hmmm, sudah kudungan, eh sudah kuduga. Sepatu-sepatu itu kisaran dua ratus ribu. Sebetulnya bisa-bisa saja aku membeli salah satu sepatu yang ada di meja, tapi dari model dan ukurannya tidak ada yang benar-benar pas selain Sneakers yang aku lihat pertama kali itu. Tapi, pada akhirnya aku mundur teratur selagi penjaga toko sibuk dengan calon-calon pembeli yang lain. Keliling-keliling untuk melihat barang lain di toko sebelah sebagai perbandingan. Kebetulan pacarku dan temannya ada di blok entah di mana. Tadi dia ikut, tapi sengaja aku biarkan, agar mereka lebih nyaman. Dan setidaknya, aku tidak harus dihadapkan pada pertanyaan “sayang, aku cocokan yang ini, atau yang ini?”. Dua blok dari toko sepatu, aku bertemu mereka di toko tas. Tasnya bagus-bagus tapi kebanyakan untuk cewek, yang cowok, ada, tapi kurang bagus, tepatnya kurang cocok dengan seleraku. 

Setelah keliling kurang lebih satu jam, kita memutuskan pulang, tapi karena dasarnya aku sudah terhinoptis oleh Sneakers batik yang ada di toko depan, aku mengajak pacarku mampir kembali ke tempat itu. Temannya pulang duluan, katanya ada urusan, dia dijemput pacarnya memakai motor Vixion keluaran terbaru.

“Gimana, cocok gak?”. Pacarku mengamati, memakai instingnya sebagai perempuan yang lumayan cukup update soal fashion. Sembari mengangguk-angguk dan memanyunkan bibirnya.

“Bro, jadiin ya, empat puluh”.

Penjualnya tetap kekeuh di angka enam puluh. Dia hanya duduk santai saja menerima kami sebagai calon pembeli. Padahal kan pembeli adalah raja, kenapa tidak disambut sebaik-baiknya? Pasti dia sudah fasih sekali dengan tipe-tipe calon pembeli hingga dia bisa sedingin itu, pikirku. Lagian, aku kan belum beli, jadi belum raja, masih calon. Sialnya, jurus “Ada robeknya nih...” juga tampak tak terlalu mempengaruhi keputusannya. Mungkin, calon pembeli sebelum aku juga pakai alasan yang sama.

“Empat lima, deh, ya...” aku mengalah, menaikkan tawaran, berharap dia juga melunak dan menurunkan harga Sneakernya. Tapi, sekali lagi, itu tak menggoyahkan hatinya, sedikitpun, untuk memberi harga yang lebih rendah dari keputusannya dan, angka empat lima adalah penawaran terakhirku. Jika dia tak mau, sudahlah, ada robeknya juga, mana ada ausnya lagi, gumamku. Penjual bergeming dan aku mengibarkan bendera putih sembari bernyanyi:

“Aku pulang, tanpa dendam, ku akui kekalahanku. Aku pulang, tanpa dendam, kusalut kan kemenanganmu” dalam hati.

–––

Di rumah, aku tak henti-hentinya memikirkan Sneaker itu. Pikiranku sibuk menimbang-nimbang kesesuaian harga dan kelayakannya. Walaupun aku tahu, kalau mau yang bagus dan kinclong, ya, seharusnya beli yang baru. Tidak banyak pikir, aku memacu motorku ke Pasar RB tersebut. Tapi, sampai di sana aku kecewa, toko yang jual sepatu itu tidak berjualan, tutup maksudnya. Kemarin, hari Minggu, memang jadwal buka baru (buka baru: istilah untuk membuka bal RB yang masih dusegel kawat) jadi Pasar RB ramai. Hari memang ada toko yang jualan, tapi tak banyak. Esoknya aku datang lagi, tapi lagi-lagi toko itu tutup. Setelah kedatanganku yang ke tiga kalinya setelah hari Minggu dan, mendapati keadaan yang sama, kuputuskan untuk ke sana lagi hari Jumat (karena selain Minggu, hari Jumat adalah jadwal buka baru)

Di Jumat sore, setelah matahari tidak terlalu membakar kulit, aku langsung ke sana dengan Motor Mio kepunyaanku. Tidak sampai sepuluh menit, sampai. Dari kejauhan, aku sudah mengintai, memfokuskan penglihatan, mencari-cari letak sepatu itu dan benar, sepatu itu masih ada tapi sedikit bergeser dari tempat sebelumnya. Siapa juga yang mau beli sepatu robek begitu, pikirku. Tapi anehnya, ketika sudah tepat di depan toko, langkah kakiku seperti berat untuk masuk. Seperti ada perasaan gengsi, layaknya seorang mantan yang tidak mau mengemis minta balikan setelah sebelumnya sudah mutusin duluan. Masa iya, aku mau kembali melakukan penawaran? Malu dong. Aku tak akan membiarkan penjual itu merasa menang, sama seperti seseorang yang tidak mau mantannya merasa menang atas kelemahannya melawan kenangan. Dengan kepala tegak, aku melewati toko sepatu second itu, pura-pura keliling beberapa blok lalu memutuskan pulang.

Tapi karena dasarnya sudah jatuh hati, setelah pulang, aku kembali menyesal. Kenapa tidak beli saja, sih? Cuma selisih lima belas ribu dari penawaranku. Lagian, kalau aku menaikan tawaran di angka lima puluh, bisa saja dia mau. Dan kalaupun harus menawar lagi, mungkin di angka lima lima dia sudah mau. Sealot-alotnya, ya, di angka yang si penjual mau; enam puluh. Dan sebenarnya angka itu tidak masalah, bukannya belagu, tapi untuk duit segitu, tidak lebih mahal dari harga paket data internet yang bisa habis dalam seminggu. Sementara sepatu, bisa dipakai berbulan-bulan, bahkan tahunan kalau pakainya benar.

Bukan terobsesi pada sepatu itu, karena sebenarnya aku sudah punya Sneakers batik yang aku beli di pasar Taman Puring. Tapi Sneakers yang aku incar itu berbeda, corak batiknya langka, kalau di luar negeri, asal sepatu itu, barangkali ada yang sama, tapi sejauh ini aku belum menemukan yang serupa di Indonesia. Dari bentuknya, Sneakers itu cocok untuk running atau jogging, tapi tetap masuk bila dipakai untuk jalan-jalan atau untuk urusan fashion kekinian. Besar kemungkinan merknya bukan Nike meskipun modelnya agak mirip. Aku sudah browsing dengan berbagai kata kunci, tapi tidak berhasil menemukan satu saja foto yang mirip sepatu itu. Langka bukan? 

Satu minggu setelah kedatanganku pertama kali di toko itu, aku kembali datang. Bergegas dan tanpa ragu, aku langsung masuk ke toko. Melihat-lihat, memperhatikan dan mengamati sepatu-sepatu yang ada di toko itu. Lalu bertanya ke penjual yang dingin itu. Kuharap dia tidak mengingatku.

“Bro, sepatu yang kemarin masih ada?”

“Yang mana, ya?

“Itu yang batik, yang ada sobeknya...”

“Oh, kemarin sudah laku, bro....”

Jedar, kalimat terakhir itu melemaskan tulang-tulangku. Penyesalan satu persatu hilir mudik di pikiranku. Kenapa tidak dari pertama saja aku beli? Kenapa hari Jumat kemarin aku tidak beli, sih. Padahal masih ada. Kenapa aku sibuk menimbang-nimbang harga dan kelayakannya (sobek dan aus). Padahal sebenarnya, 90% Sneakers itu cocok dengan apa yang aku mau. Kulangkahkan kakiku menjauh dari pasar RB dengan segera, agar cepat pula perasaan sesal itu sirna. Aku terus terbayang-bayang kelambananku mengambil keputusan. Hanya karena 10.000-15.000 rupiah, lantas aku harus dibuat bolak-balik? Jelas-jelas ongkos mondar-mandir jauh lebih banyak dari itu. Belum lagi waktu yang terbuang? Hanya karena sobek dan aus sedikit aku harus kehilangan sesuatu yang sukar didapat.

Dua puluh lima menit kemudian, aku sampai di rumah pacarku. Melihat motor yang sedang parkir di depan rumah pacarku, aku tahu di dalam rumah ada temannya --teman yang waktu itu menemaninya belanja di Los RB seminggu yang lalu-- dan tentu juga pacarnya. Kita memang janjian untuk hang out hari ini 

Sebelum masuk, pacarku dengan sigap menyambutku di depan pintu karena hapal suara motorku. Aku berhenti di teras rumah,

“Itu sepatu siapa, Yang?”

“Sepatu pacarnya Nay. Katanya, kemarin dia beli di tempat kamu menawar waktu itu...”

Tidak lain tidak bukan, itu adalah sepatu yang....yang harganya tiga ratus lima puluh ribu,

"Nah, yang ini buat kamu", sembari mengeluarkan kantong kresek dari balik tubuhnya.

"Loh, kok ada di kamu?", tanyaku gagap terkejut

"Sudah, pakai aja, jangan banyak cakap" sembari tersenyum dingin, mirip senyum penjual sepatu di pasar RB.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

DAT - Ghosting (Lyric) | Lirik Lagu DAT - Ghosting

DAT - Ghosting Cipt: Arman Bustan Everything is ok We still dating a week ago And yesterday we still chatting until I fall But when I wake u...