Aku geram menunggunya pulang. Kuda besi baru - meski tak benar-benar baru - di ajaknya ke tempat yang aku tak tahu. Yang aku tahu di tempat di mana mereka membentuk lingkaran dan menggilir sebuah gelas. Setidaknya, begitulah yang terendus dari sejak pertama dia memasuki rumah.
"Sampai kapan?"
"Aku tak minum"
"Sampai Ambo meregang nyawa? Sampai Indo menghembuskan nafas terakhirnya?"
Dia tak banyak suara, hanya menyembunyikan merah tua wajahnya di balik guling. Aku tahu dia mengumpat di dalam hati yang pening. Dan sekalipun telah nyata-nyata tertangkap basah. Dia tak pernah mau mengakuinya.Seperti akting tikus-tikus perampok uang rakyat saja dirinya.
Ingatanku berlari cepat dari hilir ke hulu. Aku sedang memandang Ambo di dirinya, dua puluh tiga tahun yang lampau. Ada aku juga di dirinya, tiga belas tahun yang lalu. Aku hanya sebentar, Ambo sedikit lebih lama, tapi yang sekarang di hadapanku tenggelam terlalu lama. Kemarahan kami berlipat karena dia pun berat kaki mencari rejeki. Apakah tulang muda memang selalu tak terlalu memikirkan beban bani? Setidaknya, bila berpamor anggur, janganlah lagi mengayap anggur.
"Kasihanilah kita, tak ada diantara kita yang berseragam. Bantulah berbagi pikul"
"Akan ada waktunya..."
"Kapan...??"
"Nanti..."
"Kau mau seperti teman-teman di lingkaranmu yang rata-rata patah pensil?"
"Mereka tak salah, jangan libatkan"
"Yang ku minta, kau berubah dan berhenti!"
"Sekarang, biar kau hantam kepalaku dengan batu sampai berdarah-darah, kalau belum waktunya, tak akan ada yang berubah"
Hening menyelimuti. Aku lalu merenung di relung hati. Tulang di bawahku baru saja membuatku terpukau. Aku setuju barisan katanya - yang sejurus dengan Surah Ar-Ra'd larik sebelas - tapi tidak perbuatannya. Kepulan asap anti nyamuk bakar, sudah cukup jadi alasanku meninggalkan biliknya. Iya, aku benci bau obat nyamuk bakar dan sejenisnya.
"Akan ada waktunya..."
"Kapan...??"
"Nanti..."
"Kau mau seperti teman-teman di lingkaranmu yang rata-rata patah pensil?"
"Mereka tak salah, jangan libatkan"
"Yang ku minta, kau berubah dan berhenti!"
"Sekarang, biar kau hantam kepalaku dengan batu sampai berdarah-darah, kalau belum waktunya, tak akan ada yang berubah"
Hening menyelimuti. Aku lalu merenung di relung hati. Tulang di bawahku baru saja membuatku terpukau. Aku setuju barisan katanya - yang sejurus dengan Surah Ar-Ra'd larik sebelas - tapi tidak perbuatannya. Kepulan asap anti nyamuk bakar, sudah cukup jadi alasanku meninggalkan biliknya. Iya, aku benci bau obat nyamuk bakar dan sejenisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar